Rabu, 12 November 2014

KETIKA CINTA HARUS BERSABAR II

 
Hari berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok "malaikat" itu. Dan aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca mata.

Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.

Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.

Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.

Wa'alaikumussalam. Wr. Wb

Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbinya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
 
Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.

Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran.

Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.

Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.

Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.

* * *

Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.

"Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin"

Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.

Hah...jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.

"Wah...wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?" Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.

"Tuh, lihat saja Ma!" Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil undangan itu dan membacanya.

"Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah" Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.

"Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa itu?"

"Fauzi Ma!" Sahutku.

"Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?" Tanya Mama penasaran.

"Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?" Jawabku meyakinkan Mama.

Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.

"Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini"

"Keluarganya Bu Rahayu?" Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.

"Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?"

Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.

"Untuk apa mereka kemari Ma?"

"Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan" Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku. Membicarakan apa?

"Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?" Tanyaku makin penasaran.

"Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin" Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan "anaknya yang kemarin".

"Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya" Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok "malaikat" itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?

Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.

* * *

         Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.

         Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller "Ayat Ayat Cinta", Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.

Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis "Ayat Ayat Cinta". Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku dalam menulis novel.

Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur'aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.

Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis "Ayat Ayat Cinta" digelar, aku melihat sosok "malaikat" yang pernah kulihat dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara.

Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. 'Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.

     Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.

"Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!" Ucap temannya Yusuf dengan semangat.

"Bener akhi7, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman mereka" Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.

"Ente jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?" Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!

"Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua" Sahut Yusuf.

"Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib dijo..."

"Sstt!!" Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.

"Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi" Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?

Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.

"Ya Ma?" Sapaku langsung pada Mama.

"Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang" Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.

"Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat datangnya" Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan.

"Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah" Ucap Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?

Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama menyuruhku ini dan itu.

Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.

"Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!" Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.

"Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja" Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai keacara walimahan.

"Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?" Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.

Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.

Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang.

Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil namaku.

"Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!" Teriak Mama.

"Iya sebentar Ma!" Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan.

Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.

"Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah" Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!

"Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya" Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.

Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.

Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.

Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.

Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.

Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.

"Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?"

"Ya ya, betul betul" Sahut Papa.

"Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini" Lanjut Pak Sardi.

"Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?"

"Prang!!" Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.

"Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita bersama"

"Amin!" Jawab semuanya serentak.

Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.

Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.

"Dinda! Kesini sebentar Nak!"

Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.

"Iya Ma, sebentar" Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.

"Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?" Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.

"Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?" Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab "Mau..mau!!" Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.

"Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan menyebut nama Allah...." Kutarik nafasku perlahan.

"Aku menerimanya" Lanjutku.

Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.

Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.

* * *

Selasa, 11 November 2014

KETIKA CINTA HARUS BERSABAR I

Novel ini mengisahkan perjalanan cinta seorang akhwat bernama Dinda yang berjuang untuk menemukan cinta sejatinya. Seorang laki-laki sholeh telah bersedia menikahinya namun semua itu hanya sandiwara belaka. Suaminya tidak pernah mencintainya sedikitpun. Alhasil, jadilah Dinda menjadi seorang istri yang tidak pernah merasa dirinya menjadi seorang istri untuk suaminya. Meskipun sikap dan perilaku suaminya tidak pernah membuatnya bahagia, namun perjuangan dan cinta setianya kepada suaminya itu, telah membukakan mata hati suaminya bahwa memang Dinda lah anugerah terindah yang Allah berikan untuknya. Perjalanan Dinda ini juga tidak begitu saja dapat sitempuh olehnya dengan mudah. Ada kerikil-kerikil kecil dan cobaan yang mengharuskan ia memilih. Suaminya atau hidup orang lain???

Penasaran dengan kisahnya???
silakan membaca, semoga ada banyak hikmah yang terdapat disana^_^


***
Ya Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok 'malaikat' itu masih melekat dalam benakku.

Sore tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali. Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk dibaca.

Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan,"Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?". Hufh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.

Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.

"Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu"

Hufh…aku hanya menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah.

Menikah. Semua gadis yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya. Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap seorang yang soleh yang bersedia menjadi suamiku.

* * *

Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang aku kendarai sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya. Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu.

Di dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut kami ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.

Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.

"Ini pasti Dinda ya?" Tanya Bu Rahayu.

"I..iya bu.." Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum padanya.

"Sudah besar ya? Berapa usia kamu sekarang?" Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk menjawabnya.

"Ehm...27 tahun bu" Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.

"Tahu darimana Lis kalau aku sakit?" Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.

"Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?" Mama balik bertanya.

"Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku" Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai bercerita.

"Beberapa hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh anakku...."

"Oh iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?" Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.

"Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?"

"Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!" Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.

"Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda" Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu Rahayu.

"Setelah aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh dengan

usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini" Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.

"Sekarang dia kemana bu?" Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku sendiri tidak tahu alasannya.

"Sekarang dia sedang menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang" Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru bagiku.

Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.

Aku berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku.

"Assalamu'alaikum" Ucapnya lembut sambil menunduk.

"Wa..wa'alaikummussalam" Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku berdebar-debar.

Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya. Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.

Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka dengan masalah Yusuf.
 
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.

"Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu".

Apa mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.

Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah, apakah sosok "malaikat" itu yang menjadi harapan Mama? Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.

Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu...