Hari berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok "malaikat" itu. Dan aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca mata.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
Wa'alaikumussalam. Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbinya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
Wa'alaikumussalam. Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbinya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran.
Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
* * *
Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
"Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin"
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
"Wah...wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?" Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
"Tuh, lihat saja Ma!" Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil undangan itu dan membacanya.
"Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah" Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
"Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa itu?"
"Fauzi Ma!" Sahutku.
"Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?" Tanya Mama penasaran.
"Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?" Jawabku meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
"Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini"
"Keluarganya Bu Rahayu?" Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
"Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?"
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
"Untuk apa mereka kemari Ma?"
"Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan" Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku. Membicarakan apa?
"Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?" Tanyaku makin penasaran.
"Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin" Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan "anaknya yang kemarin".
"Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya" Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok "malaikat" itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
* * *
Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller "Ayat Ayat Cinta", Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis "Ayat Ayat Cinta". Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur'aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis "Ayat Ayat Cinta" digelar, aku melihat sosok "malaikat" yang pernah kulihat dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. 'Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
"Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!" Ucap temannya Yusuf dengan semangat.
"Bener akhi7, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman mereka" Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
"Ente jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?" Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!
"Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua" Sahut Yusuf.
"Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib dijo..."
"Sstt!!" Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
"Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi" Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
"Ya Ma?" Sapaku langsung pada Mama.
"Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang" Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
"Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat datangnya" Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan.
"Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah" Ucap Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama menyuruhku ini dan itu.
Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
"Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!" Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
"Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja" Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai keacara walimahan.
"Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?" Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang.
Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil namaku.
"Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!" Teriak Mama.
"Iya sebentar Ma!" Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.
"Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah" Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!
"Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya" Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.
Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
"Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?"
"Ya ya, betul betul" Sahut Papa.
"Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini" Lanjut Pak Sardi.
"Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?"
"Prang!!" Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
"Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita bersama"
"Amin!" Jawab semuanya serentak.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.
"Dinda! Kesini sebentar Nak!"
Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
"Iya Ma, sebentar" Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
"Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?" Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
"Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?" Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab "Mau..mau!!" Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
"Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan menyebut nama Allah...." Kutarik nafasku perlahan.
"Aku menerimanya" Lanjutku.
Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
* * *
Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran.
Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
* * *
Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
"Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin"
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
"Wah...wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?" Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
"Tuh, lihat saja Ma!" Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil undangan itu dan membacanya.
"Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah" Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
"Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa itu?"
"Fauzi Ma!" Sahutku.
"Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?" Tanya Mama penasaran.
"Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?" Jawabku meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
"Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini"
"Keluarganya Bu Rahayu?" Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
"Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?"
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
"Untuk apa mereka kemari Ma?"
"Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan" Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku. Membicarakan apa?
"Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?" Tanyaku makin penasaran.
"Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin" Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan "anaknya yang kemarin".
"Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya" Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok "malaikat" itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
* * *
Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller "Ayat Ayat Cinta", Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis "Ayat Ayat Cinta". Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur'aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis "Ayat Ayat Cinta" digelar, aku melihat sosok "malaikat" yang pernah kulihat dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. 'Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
"Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!" Ucap temannya Yusuf dengan semangat.
"Bener akhi7, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman mereka" Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
"Ente jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?" Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!
"Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua" Sahut Yusuf.
"Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib dijo..."
"Sstt!!" Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
"Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi" Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
"Ya Ma?" Sapaku langsung pada Mama.
"Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang" Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
"Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat datangnya" Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan.
"Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah" Ucap Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama menyuruhku ini dan itu.
Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
"Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!" Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
"Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja" Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai keacara walimahan.
"Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?" Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang.
Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil namaku.
"Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!" Teriak Mama.
"Iya sebentar Ma!" Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.
"Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah" Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!
"Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya" Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.
Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
"Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?"
"Ya ya, betul betul" Sahut Papa.
"Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini" Lanjut Pak Sardi.
"Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?"
"Prang!!" Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
"Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita bersama"
"Amin!" Jawab semuanya serentak.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.
"Dinda! Kesini sebentar Nak!"
Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
"Iya Ma, sebentar" Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
"Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?" Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
"Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?" Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab "Mau..mau!!" Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
"Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan menyebut nama Allah...." Kutarik nafasku perlahan.
"Aku menerimanya" Lanjutku.
Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
* * *
0 komentar:
Posting Komentar