Jumat, 23 Januari 2015

KETIKA CINTA HARUS BERSABAR XII

* * *

Hari-hari aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan sampai sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh reaksi obat yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan sadar kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.

Di setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do'aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.

Sudah dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak kantor. Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan novelku.

Selama aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa membawa serta kedua orang tuanya.

Laki-laki yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu Alifa mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai detik ini.

Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir akan keadaannya saat ini.

Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil air wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.

Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku berdo'a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa itu.

Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh makhluk di dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa.

Kusudahi doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma'tsurat dan tilawah Qur'an beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi. Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit memerah akibat menangis.

Kuseret kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin melepasnya.

Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesara untuknya. Sekali lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena Mas Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga bisa menerimaku sebagai istrinya.

* * *

          "Saya terima nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai" Ucap Mas Yusuf dengan lantang.

Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.

Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Ysuf pergi dari hadapanku.

Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.

Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?

Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf.

Kuseka air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.

Aku mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya setelah setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia, senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut.

Aku takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.

Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.

Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng. "Maafkan aku Mas, maafkan aku" Ucapku pelan.

Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah sadar?

Aku hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.

"Mas Yusuf? Mas sudah sadar?" Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.

Perlahan kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.

"D..Dinda. A, aku ha..us" Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui sedotan.

Setelah minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas Yusuf sudah sadar.

Aku melangkah keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.

Ketika kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa orang suster berlari mengahmpiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun. Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.

* * *

Perlahan kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun kupaksakan karena memang aku ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai masuk dan menembus kornea mataku. Aku merasakan kehangatan di keningku. Sebuah kecupan hangat tengah mendarat disana.

Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?

Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat.

"kamu sudah sadar?" Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.

"Ya" Suaraku terdenganr begitu lirih.

Dia tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.

"Kau menciumku?"

Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum.

"Karena kau adalah istriku." Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih belum mengerti apa maksudnya.

"Bukankah...."

"Sstt!" Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku tidak mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,

"Sudah dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?"

Aku berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.

"Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya" Jelasku.

"Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk diperiksa" Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati wajahku.

"Maafkan aku Mas..." Lirihku.

"Untuk apa?"

"Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu"

Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan manis padaku.

"Kenapa aku harus marah padamu?"

"Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?" Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat pengakuan darinya.

"Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf padamu"

"Untuk apa?" Tanyaku pura-pura tidak mengerti.

"Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab, jika aku sering menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam"

Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan kata-katanya.

"Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangub sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk memuaskanmu"

Aku semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?

"Sekali lagi maaf, karena aku pernah berbohong padamu..."

"Berbohong apa Mas?" Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.

"Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu, kau melihatku disana kan? Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal" Jelas mas Yusuf dengan nada penuh penyesalan.

Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia menjawab.

"Buku harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku selama ini" Pintanya sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

"Mas, apa...apa semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?"

Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum. Bahkan lebih manis dari biasanya.

Kupandang lekat-lekat wajah itu.

"Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?"

"Karena kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan ada"

"Termasuk Alifa?" Tanyaku dengan tiba-tiba.

"Ya. Termasuk Alifa." Jawab Mas Yusuf tenang.

"Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas..."

Mas Yusuf terdiam sejenak.

"Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selam ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo'akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih..."

"Sstt!" Sahutku menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.

"Kau sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas..." Ucapku pelan.

"Terima kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah..." Ucapnya senang.

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke jilbab yang aku kenakan sekarang.

Aku benar-benar terkejut mendengarnya.

"Kamu hamil, sayang...." Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.

Air mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.

"Kau tidak membohongiku?" Tanyaku seolah ingin penegasan.

Mas Yusuf menggeleng.

"Aku tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak kita. Buah cinta kita"

Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan kebahagiaan ini padaku.

"Kemarin kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kamu tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga kesehatan ya?' Pinta Mas Yusuf padaku.

Aku mengangguk dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan hangatnya.

Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.

Tapi biar bagamanapun, aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa.

Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,

"Mas..."

"Hm?..."

Kuhela nafasku sesaat.

"Mencintaimu adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa".

Kulihat Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.

"Kau tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan keputusanku terhadap penawaranmu" Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan?

Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah.

Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.

"Apa keputusanmu Mas?" Tanyaku dengan serak menahan tangis.

Dia menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.

Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?

Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang sangat aku kenal.

Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf. Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang bersamaan?

"Alifa?! Randi?! Kalian...." Ucapku tergagap.

"Ya. Alifa sudah menikah dengan Randi" Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.

"Apa?"

"Ya Dinda. Aku sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan menjadi suamiku" Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.

Mas Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.

Sambil menggenggam tanganku, Alifa berkata,

"Aku tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya..."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai menikahiku. Untung saja sebelum Yusuf memberikan keputusannya karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku harus dirawat di rumah sakit dan mengalami koma.

Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi menikahiku dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat hidupku.

Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku. Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan akhirnya aku sudah bisa menerima

semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang menggantikannya adalah Randi.

Terima kasih ya? Karena biar bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu"

Alifa menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat, ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi.

"Kapan kamu menikah dengannya?" Tanyaku.

"Kemarin. Bahkan Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami"

Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.

Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada mereka dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu. Penuh keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.

***

           Setelah dokter mengatakan kondisiku sudah cukup pulih, akhirnya dia mengizinkanku untuk segera pulang. Begitu juga Mas Yusuf. Beberapa luka di bagian kepala dan lengannya juga sudah mulai mengering.

Kami melewati hari-hari baru kami sebagai suami istri. Lebih tepatnya lagi suami istri yang baru menemukan mahligai cintanya. Aku sangat bersyukur sekali karena kesabaranku dalam mencintai Mas Yusuf akhirnya menemukan buahnya. Kini aku sudah memetik buah itu. Cinta itu, kini sudah menemukan peraduannya. Tak henti-hentinya aku berucap syukur pada Sang Maha Pencipta.

Kini, tak ada lagi sorot kebencian pada mata Mas Yusuf. Kini tak ada lagi sosok seorang suami pengecut dalam kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang pahlawan sejati yang siap menemaniku kemanapun kakiku melangkah. Terima kasih, Ya Allah.

Malam ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah beranda di salah satu kamar hotel yang dulu pernah kami jadikan sebagai tempat malam pertama kami satu tahun yang lalu. Dengan ditemani sinaran bintang-bintang, kami memulai kembali kisah cinta kami yang sempat tertunda karena sebuah keegoisan.

Malam ini, kami serasa seperti kembali menjadi sepasang pengantin baru. Saat Mas Yusuf menatapku penuh mesra, rasa berdebar-debar itu tiba-tiba muncul dalam diriku. Tapi inilah cinta. Aku sangat menikmati debar-debar itu. Tatapannya, belaiannya, dan kecupannya, ini adalah untuk yang pertama kalinya dia melakukannya dengan penuh keikhlasan hati dan kerelaan jiwa.

Malam semakin larut dan dia mulai mengajakku kembali ke kamar. Entah mengapa, keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku ikuti langkahnya. Kini, dia menuntunku untuk sampai di tempat tidur. Aku tersenyum padanya.

Dengan ditemani temaram lampu kamar dan indahnya sinaran bulan sabit di langit luar sana, Mas Yusuf kembali membuktikan bahwa dia bukan laki-laki pengecut. Dia bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia lakukan tanpa menunggu subuh datang terlebih dahulu. Aku merasakan menjadi makhluk Tuhan yang paling dikasihi.

Ditengah ibadah berdua kami, tiba-tiba dering hand phone ku berbunyi. Sambil terus melakukan ibadah itu, kuraih hand phone ku dan kulihat sekilas. Dari pihak penerbit. Aku tak berniat mengangkatnya dan segera ku matikan dengan me-non aktifkan-nya.

Peluh kami kembali bersatu lagi. Merembas ke dalam seprei biru yang kini menutupi tempat tidur kami. Inilah kesucian cinta yang telah tertanam sejak lama yang kurawat dengan air kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf harus bersabar.

Kini, lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti datangnya bidadari kecil yang beberapa bulan lagi akan hadir ke dunia ini untuk menemani kehidupan kami sebagai Abi dan Bunda.

Bulan dan bintang memantulkan sinar gemerlapnya pada diri dua insan yang tengah dimabuk cinta. Semoga ibadah ini bisa memberikan keberkahan pada kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Yusuf nantinya.

Rabb, Terima kasih.

* * *

Selasa, 20 Januari 2015

KETIKA KAMU JATUH CINTA KEPADANYA

         Sorang wanita yang sedang berdebar hatinya  bergegas ke luar menyambut khalifah dagang yang sudah ditunggunya sejak tadi. Khadijah nama wnita itu, tersenymum gembira saat melihat Muhammad datang

         Keduanya kemudian berbicang denga bahasa  yang begitu fasih, tentang perjalanan dagangnya ke negeri Syam, serta keuntungan yang diperoleh dari pedagangan tersebut. Muhammad terlihat sangat tegas dan penuh karisma.

         Sesaat ke,udian datanglah Maisarah orang kepercayaan Khadijah yang menyertai Muhammad bedagang ke Syam. Ia pun menceritakan pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan. Semua yang diceritakan Maisarah yakni membuat Khadijah berdebar. Khadijah benar-benar jatuh cinta kepad pemuda itu.

Maka, Khadijah pun melamar Muhammad untuk menjadi suaminya. Lamaran pun diterima. Banyak orang bilang, untuk apa Khadijah melamar pemuda dari kalangan biasa. Padahal Khadijah adlah wanita mandiri, kaya dan berasal dari keturunan petinggi suku Quraisy. Khadijah juga sebelumya dilamar para pembesar Quraisy yang kaya raya, namun ia menolaknya, ia justru memilih Muhammad.

       Khadijah mencintai Muhammad sebab oleh cintanya yang tulus. Cintanya sungguh terbebas dari kepentingan apa pun, tidak terkecuali jabatan dan harta. Khadijah mencintai Muhammad dari kebaikan hatinya. Ia tahu riwayat Muhammad, dan ia begitu takjub. Pemuda yang dicintainya itu telah mengalami perjuangan hidup yang panjang dan bermakna.

wow, so sweet banget iaa... ketika cinta bertasbihnya, maka hati tak akan berkutik. He he he...
          Muhammad telah membuat Khadijah benar benar telah jatuh cinta.

Perasaan tu tulus tanpa kepentingan apa pun, dan kita bisalihat sendiri, kan, hasilnya? cinta yang dimulai dengan niat dan cara yang baik, maka proses dan akhirnyapun akan selalu baik.

ya, ya, ya kita semua pengen punya Love story kayak Muhammad dan Khadijah...
"Meski aku enggak sesempurna Muhammad, mau gagkamu jadi Khadijah ku?”  ^_^

            But, satuhal yang harus kita catat, kalau emang pengen cinta sejati ala Muhammad dan Khadijah kita harus mengikuti cara cara mereka dalm memperlakukan cinta.
          And kisah cinta di atas aku plagiat dari buku ini  :D.....


KETIKA CINTA HARUS BERSABAR XII

Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui keadaan Alifa saat ini.

Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.

Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit? Entahlah, aku sudah mulai cemas.

Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam. Apa benar ini Ibu Dinda?" Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.

"Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?"

"Saya Pak Azril, petugas kepolisian"

"Petugas kepolisian?"

"Iya. Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah sakit..."

"Di rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?" Tanyaku dengan panik.

"Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini sangat kritis dan dia belum sadarkan diri"

Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?

Belum sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis. Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan heraan, kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.

Setelah aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD18 untuk mencari suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada. Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.

"Permisi Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf" Ucapku pada dua orang polisi itu.

"Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu" Sahut seorang polisi yang mengenakan jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan pandanganku pada Mas Yusuf.

Di keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun terdapat sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam benda keras.

"Bagaimana keadannya Pak?" Tanyaku pada salah satu polisi itu.

"Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana" Jawab polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.

Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.

Aku menurut saja.

Karena aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar intensif agar dia bisa cepat sembuh.

Air mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa kesini.

Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini. Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.

Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat.

Setelah shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua dan mertuaku.

Kupencet nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.

Setelah menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang mereka dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.

Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.Read More



KETIKA CINTA HARUS BERSABAR XI

Dua hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati.

Di kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.

Kucium tangannya sambil berkata.
"Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa"

"Oh..iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa" Sahut ibu paruh baya itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata. Mungkin dia habis menangis. Entahlah.

Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini agak sedikit pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya.

Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.

"Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?" Tanyaku sambil terus berdiri di samping Alifa.

"Sejak keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit. Tapi makin kesini, kondisinya semakin...." Bu Ratih memutuskan kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.

"Sabar ya Bu?" Ucapku padanya.

Bu Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.

Sesaat lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang untuk memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja dorongnya.

Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk mengganti cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.

Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
"Bagaimana dok keadaanya? Apa ada kemajuan?" Tanya Bu Ratih penuh harap.

Dokter cantik itu menggeleng.
"Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan tindakan" Jawab dokter itu tenang.

"Tindakan apa dok?" Tanyaku menimpali.

"Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan? Masa-masa itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres kemudian sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat terguncang tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat tragis" Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.

"Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?" Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.

"Kandungan? Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?"

"Iya" Sahut dokter melisa.

"Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungannya tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya" Jelas Dokter Melisa kembali.

Aku hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat ucapan dokter Melisa barusan,

"Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal"

Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
"Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya"

Alifa memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil suaminya dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari seorang suami.

Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
"Nak Dinda"

"Eh...Ya Bu?" Sahutku.

"Kenapa melamun?"

Aku menggeleng.

"Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu? Saya do'akan semoga Alifa bisa secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh"

"Terima kasih ya Nak?' Ucap Bu Ratih.

Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,

"Aku akan membantumu, Alifa. Insya Allah"
Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.

"Yang tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumusslam. Terima kasih ya Nak Dinda?"

Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift. Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.

* * *
          Setelah sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin dia masih mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa cemas itu menyusup ke dalam dada. Kemana Mas Yusuf sampai petang begini belum pulang? Tak biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau pun sms.

Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon seluler.

"Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut...."

Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang.

Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai nomor telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.

Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
"Halo..." Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.

Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi menjengknya?

Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah seharian beraktivitas.

* * *

          Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku merasakan sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.

Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat tahajud.

Setelah mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku lanjutkan dengan tilawah Al-Qur'an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan shalat witir tiga rakaat.

Kulepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela kamarku sambil membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.

Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.

Aku melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku bekerja.

Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.

Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
"Tuhanku,
Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.

Tuhanku,
Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.

Rabbi,
Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?

Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya untukku?

Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.

Ya Allah,
Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon.

Ya Allah,
Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku.

Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.

Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia."

Seusai merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.

* * *
Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada yang membuka. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.

"Dari mana Mas?" Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.

"Mas, kamu dari mana aku tanya?"

"Sudahlah!" Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.

"Kamu selalu mau tahu saja urusanku"

Aku benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.

"Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan"

"Ya aku tahu hal itu" Sahutku berusaha untuk tenang.

"Lagipula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman.Aku hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak pulang? Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms. Apa telah kau baca?"

Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
"Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms ku?"

Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
"Aku...aku habis dari rumah Bule Rinta..."

"Bule Rinta?!" Putusku dengan penuh tanya.

"Ada apa dengan Bule Rinta?"

"Kemarin, dirumahnya ada acara....selametan anaknya yang mau di khitan.." Jawab Mas Yusuf tenang.

"Selametan? Dirumah Bule Rinta ada selametan?"

Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
"Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu kan aku bisa datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa kamu pergi sendiri?"

"Ya...ya, karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya akan dilaksanakan baru aku kasih tahu" Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.

"Kamu terlalu Mas" Ucapku sambil menahan tangisku di tenggorokan.

"Kamu anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas, mereka tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.

"Tolonglah Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas, sudah setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau tidak mencintaiku? Apakah ini kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?"

Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.

"Mungkin sudah saatnya aku mengatakan hal ini" Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku seka air mataku. Mas Yusuf terlihat penasaran.

"Di dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah ada cinta yang menghiasi. Tapi aku berharap tidak pernah ada pula kata perceraian di antara kita. Karena Allah sangat membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu akan sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus menceraikan aku karena aku tidak ingin kau menceraikanku....."

"Apa maksudmu?" Tanya Mas Yusuf penasaran.

Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
"Nikahi Alifa......"

"Apa?! Apa maksud perkataanmu?" Tanya Mas Yusuf menghampiriku.

"Nikahi Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang janda..." Ucapku menegaskan.

"Janda?! Alifa sudah menjadi janda?"

"Ya. Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun dan kini dia dirawat dirumah sakit"

"Menurun?"

"Ya. Kondisi itu disebabkan karena dia tidak bisa menahan stres dan tekanan batin atas kepergian suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa dari koma, adalah mencarikan seorang suami untuknya yang dapat menggantikan kasih sayang suaminya yang seharusnya ia dapatkan sejak pertama ia menikah"

"A, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan..."

"Alifa butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat hidupnya. Dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak lagi. Kalau terlambat, maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa bisa selamat dan bayi dalam kandungannya juga akan bertahan lama"

Mas Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak mengira kalau Alifa akan bernasib seperti ini. Dia tak bisa berkata apa-apa.

"Aku mohon Mas. Terimalah tawaranku ini. Jika kau melakukan hal ini, maka akan banyak jiwa yang kamu tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau menolong bayi yang ada dalam kandungannya dari status yatim, kau menolong hatimu dari kekosongan cinta akan seorang istri, dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku, kamu. Aku mohon" Ucapku dengan penuh harap padanya.

Mas Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Dia duduk di ruang tamu sambil termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan bingung. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya.

"Tapi tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula tidak pernah terpikir sedikit pun dalam benakku kalau aku ingin menikah lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya istriku..."

"Istri yang tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri? Istri yang tidak pernah merasa bahwa dirinya itu seorang istri?"

Mas Yusuf terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku menghampirinya.
"Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu memang tidak bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi kamu masih punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa. Selain itu kamu juga bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan bayi yang dikandungnya. Kamu mengerti kan Mas?"

Aku rasakan mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja mengaliri pipiku.
"Aku harap kamu bisa mempertimbangkan saranku. Ini demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika orang tua kita mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang kerja nanti, aku tunggu jawabanmu"

Setelah itu aku masuk ke dalam kamar sambil mengunci pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini. Di balik pintu aku menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan bercampur menjadi satu.

"Rabbi....kuatkan aku......."

KETIKA CINTA HARUS BERSABAR X

Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur'an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan 'Save Palestine'. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu.

Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.

Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.

Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu'udzan padanya. Tapi.....

Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab,

"Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?"

Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis. Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.

Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.

Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.

"Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong"

Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.

"Assalamu'alaikum" Ucapku padanya.

"Wa'alaikummussalam" Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.

"Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?" Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.

"Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?"

"Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?"

Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.

"Ada apa ya Rin?" Tanyaku langsung padanya.

"Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik" Jawabnya dengan nada sedih.

"Memang dia kenapa?"

Ririn mulai menjelaskan.

"Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur...." Ririn memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.

"Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?" Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.

"Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah" Jelas Ririn.

Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.

* * *

Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.

Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.

Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu. Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.

Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.

"Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?" Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan 'Nda'. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, 'Nda'.

"Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?" Tanyaku balik padanya
Nadia mengangguk.

"Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?"

"Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?" Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk lagi.

Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.

Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.

"Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!" Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.

Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya. Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu.
Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.

"Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!" Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
 
Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.


Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.


"Cukup-cukup!!" Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.


"Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian" Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.


"Apa maksud perkataanmu hei?" Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.


"Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?"


"Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?" Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.


"Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!"


Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.


"Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian"


Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.


"Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?"


"Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami" Sahut lelaki berkemeja merah marun.


"Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri14. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?"


"Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?" Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.


"Allah berfirman dalam Qur'anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.


"Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam16. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka17.


"Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati"


Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.


Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.



* * *




Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan kata-kata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai saat ini hatiku masih berdegup kencang.


Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.


Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.


Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.


Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.


Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.


Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.


Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.


Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya.


Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami. Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu.


Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo'a,


"Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin"



* * *



Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.


Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.


Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.


Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.


Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.


Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.

"Ada apa dari pihak penerbit menelepon?"

"Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses" Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.

"Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh" Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.

Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan? Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.

Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah.